Window Dressing di BUMN

Ada seorang teman kepala divisi di bidang finance dan akutansi yang sangat disegani dan diberi tempat khusus karena keahliannya memastikan besaran laba perusahaan setiap tahunnya.

Dalam rapat tertutup dengan direksi sering dia harus tawar menawar jumlah rupiah laba yang ideal untuk dibukukan setiap akhir bulan. Ada saja caranya untuk bisa mengeluarkan neraca awal bulan yang ciamik meskipun sebenarnya bisnis perusahaan sedang sangat tidak bagus. Bagi sebagian pegawai dan pejabat terlebih dewan direksi, dia adalah sang fenomenal, the only one, sang pahlawan. Awal tahun baginya adalah waktu cuti dalam kemewahan, apa saja yang dimintanya pasti disediakan oleh perusahaan.

Window dressing adalah praktik menipu atau mengelabuhi melalui rekayasa trik akuntansi untuk membuat neraca perusahaan dan laporan laba rugi tampak lebih baik daripada yang sebenarnya. Semua ini dilakukan untuk membuat para pemegang saham sebagai pemilik dan pemangku kepentingan lain terkesan dengan sajian laporan keuangan yang lebih baik daripada kondisi sebenarnya dengan kecurangan yang didisain dan melanggar aturan standart akutansi. Caranya dengan menetapkan aktiva atau pendapatan terlalu tinggi dan menetapkan kewajiban atau beban terlalu rendah dalam laporan keuangan. Manuver jahat ini seringkali dilakukan oleh perusahaan terbuka, bank, reksadana, serta perusahaan finansial lainnya.

Di luar negeri, skandal window dressing yang menyesatkan terjadi pada Toshiba. Perusahaan asal Jepang itu diketahui menggelembungkan labanya hingga US$1,2 miliar selama periode 2008-2015. Para manajer dari berbagai divisi mengambil ‘jalan pintas’ ini sesuai keinginan dan instruksi paksaan dari atasan mereka.

Sebuah raksasa bisnis energi, Enron, jatuh menghebohkan dunia, terutama dunia akuntansi. Skandal ini menjadi menarik karena terungkapnya sejumlah pejabat tinggi Gedung Putih dan sejumlah Senator yang ternyata menerima kucuran dana politik dari Enron. Skandal ini juga melibatkan jasa konsultan professional auditor yang seharusnya bertugas dan bertanggung jawab untuk mencegah window dressing ini. Jasa konsultan professional auditor ini menggelembungan (mark up) nilai pendapatan US$600 juta dan menyembunyikan utang senilai US$1,2 miliar. Semua ini terjadi sebagai akibat adanya kolusi tingkat tinggi antara manajemen Enron, analis keuangan, para penasihat hukum, dan auditornya.

Ambruknya Lehman Brothers di Amerika Serikat (AS) tanggal 15 September 2008 merupakan titik awal serangan badai krisis terdahsyat pasca Perang Dunia II yang melanda tahun 2007-2008. Lehman Brothers adalah salah satu investment bank terbesar di AS yang sudah berusia lebih dari 150 tahun. Hampir semua negara terkena imbasnya meski dalam skala yang berbeda. Semua kehancuran ini adalah sebagai akibat praktik kejahatan ‘manipulasi’ standar akuntansi , window dressing. Masih banyak ‘case’ lain yang tidak dapat saya detailkan satu per satu baik yang terungkap terlebih yang tidak/belum terungkap.

Bagaimana di Indonesia?. Bank Indonesia (BI) tidak mengelak jika sampai kini praktek window dressing atau memoles laporan keuangan masih terjadi di industri perbankan. Praktek window dressing ini dilakukan misalnya dengan membikin rasio-rasio seperti rasio kredit bermasalah dan rasio kecukupan modal menjadi lebih cantik. Deputi Gubernur BI, yang dijuluki sang pemberani, Budi Rochadi yang pernah menjabat tahun 2007, mengungkapkan pengawas BI dipastikan mengetahui praktek-praktek seperti itu dan mengenakan denda kalau ketahuan. Denda dikenakan per item data. Bank Indonesia memang mengeluarkan tindakan keras misalnya dengan menyatakan dua direksi Bank BTN dan satu kepala divisinya yang juga adalah ketua serikat pekerjanya pada tahun 2013 karena praktek kecurangan ini.

Bagaimana di era berdirinya OJK?. Pada tanggal 30 April 2018, Bursa Efek Indonesia (BEI) memanggil jajaran direksi Garuda Indonesia. Pemanggilan tersebut berkaitan dengan penolakan beberapa komisaris atas laporan keuangan 2018 perusahaan pelat merah ini. Tahun 2018 seharusnya menjadi tahun yang menggembirakan karena Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini berhasil mencetak laba bersih US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Maklum, perusahaan terbuka ini cukup lama merugi. Kasus ini juga melibatkan auditor independen akuntan publik.

Jiwasraya melakukan window dressing untuk mempercantik portofolio investasi. Ujungnya, kinerja keuangan terlihat cantik, meski itu cuma akal-akalan. Langkah window dressing yang dilakukan manajemen lama Jiwasraya adalah membeli saham yang overprice (kemahalan) di pasar reguler. Saham tersebut kemudian dijual melalui pasar negosiasi di bawah harga beli. Setelah itu, Jiwasraya kemudian membeli kembali saham tersebut.
Masih banyak perusahaan lain khususnya BUMN yang juga ikut melakukan praktek kecurangan ini. Mereka leluasa melakukan tindak pidana ini setiap bulannya sebagai akibat budaya korupsi yang sudah menjadi kanker yang sudah pada tahap stadium 4. Nilai-nilai oportunis dan pragmatis kacangan sudah menjadi jati diri sebagian besar para eksekutif BUMN. Hal ini juga tidak terlepas dari kelemahan dan ketidakbecusan otorita dan regulator, OJK khususnya termasuk BEI yang tidak serius dan konsisten untuk mengawasi pelaku industri. Standart akutansi sebagai kitab suci hanyalah buku usang dan murahan yang dapat diputarbalikkan untuk kepentingan sesaat. Ada uang ada kabar baik, slogan ini mungkin sangat tepat untuk menggambarkan jasa auditing dan penilai di Indonesia. Kualitas laporan adalah refleksi besaran imbal jasa yang mereka terima. Jangan lagi bicara kode etik dan moral, itu sih bahasa kampungan bahasa udik bahasa kelas terbelakang bahasa para orang lemah bahasa ketidakhebatan bagi mereka.
Seandainya para regulator dan pengawas adalah oknum-oknum handal pemberani dan berintegritas, semua ini pasti tidak akan terjadi. Karena sesungguhnya trik dan model kecurangan yang dipraktekkan para pelaku industri bukanlah cara-cara hebat dan extra-extreme formulation serta di luar logika keilmuan. Apalagi di zaman komputerisasi di milenium ini idealnya harusnya adalah sangat simpel untuk membuatkan suatu alat untuk mendeteksi dan menangkap suatu kecurangan dalam laporan keuangan.

Membaca laporan keuangan 3 tahun terakhir pada suatu industri para auditor dan akuntan pastilah mengetahui sifat kemungkaran dan gaya kecurangan dari suatu pelaku industri. Apalagi kalau data yang bisa diperiksa adalah data keuangan 5 tahun terakhir. Idealnya para regulator dan pengawas tentulah orang-orang yang dipilih secara khusus karena kecakapannya, kalau kemudian ada oknum regulator dan pengawas yang ‘lack of competension’ alias kompetensinya di bawah pelaku industri itu jelas ada yang bermasalah pada sisi rekruitmennya.

Saya sangat yakin masalahnya bukan di kompetensi dan alat kerja. Negara tidak kekurangan APBN untuk menyediakan alat kerja dan kompetensi bagi standart ideal suatu tugas khusus. Apalagi tugas kenegaraan tugas untuk menjaga negara ini agar tetap berdiri kokoh bahkan lebih maju. Masalah selalu kembali ke integritas, moral dan keberanian untuk berbuat benar serta mempertahankan kebaikan. Saya selalu membayangkan semua orang tua berjuang mati-matian agar anak-anak mereka kelak bisa menjadi anak yang berhasil, anak yang juga taat dan anak yang juga bermoral. Tidak ada orang tua yang baik khususnya di Indonesia ini menginginkan anaknya kelak menjadi pecundang, pembohong besar, perusak perusahaan apalagi perongrong negara. Dari kecil disekolahkan dengan pendidikan terbaik berbasis moral dan keimanan bayangkan kok sudah besar malah menjadi ‘window-dresser’. Untung saja orang tua kita sebagaian besar tidak paham betul apa itu window dresssing. Seandainya mereka tahu mungkin mereka akan sangat marah bahkan menganggap kita adalah anak yang termasuk golongan anak durhaka. Saya sangat yakin tidak ada orang tua yang hanya menginginkan anaknya menjadi seorang sukses dengan cara-cara melawan hukum dan moral.

Wahai window-dresser berhentilah bangga akan karyamu yang merusak itu, sesunggguhnya kamu bukanlah pahlawan tetapi hanya seorang hina pecundang. Percuma kamu menuntut ilmu sampai ke negeri cina kalau ilmumu itu kamu gunakan untuk kemungkaran. Percuma ibadahmu yang teratur dan tidak terputus itu, percuma semua amal derma solehmu itu yang akan hanya menjadi sebuah ritual yang tidak berkenan.

Lebih dari dua ribu tahun yang lalu di daerah Timur Tengah di masa Emporium Romawi masih berkuasa, ada di antara mereka seorang bernama Ananias, Ananias memiliki isteri bernama Safira. Atas inisiatif sendiri mereka bernasar hendak menyumbangkan seluruh uang hasil penjualan tanahnya. Setelah tanah yang dia jual laku, dengan setahu isterinya ia menahan sebagian dari hasil perjualan itu. Entah apa yang merasuki mereka sehingga mereka akhirnya berbohong sayangnya nasib mereka tidak sebaik pinokio yang hanya dihukum dengan hidungnya yang semakin memanjang. Ananias dan safira harus menerima kenyataan mati di tempat sebagai akibat penipuan yang mereka lakukan. Kisah ini mengingatkan kita akan arti sebuah komitmen dan integritas bukan hanya kepada sesama terlebih kepada Sang Khalik Pencipta Langit dan Bumi.

Desember adalah bulan yang penuh keceriaan baik oleh karena ‘chrismast season’ bagi yang merayakannya juga karena sebentar lagi kita akan meninggalkan lembar lama dengan segala dinamikanya menuju dunia baru tahun yang baru. Desember bagi para pekerja dan pengusaha terlebih adalah bulan tutup buku,’end of year’, dimana pemilik menagih janji dan komitmen serta integritas para pengelola usahanya yang sudah berjanji akan memberikan hasil yang terbaik, khususnya BUMN.

Bagi para winners, bulan ini adalah bulan yang sangat menyenangkan (joyfullness) bulan inagurasi bulan dimana pemilik akan membagi-bagikan hadiah atas kerja keras mereka dari awal tahun selama dua belas bulan. Sebagian lagi baru akan menerima insentif pada bulan Januari 2020 setelah publikasi neraca audited.

Selamat atas kinerja yang baik, khususnya bagi BUMN. Rakyat Indonesia, Presiden Jokowi dan Menteri BUMN, Erick Thohir diharapkan agar segera menyudahi praktek pelaporan Neraca Rugi-Laba yang sarat dengan praktek ‘window-dressing’. Karena kecurangan ‘window-dressing’ ini selain menghancurkan BUMN juga nyata-nyata akan merugikan rakyat dan negara. Para rekanan yang selama ini ditunjuk untuk melakukan ‘auditing’ dan penilaian sebaiknya dievaluasi secara menyeluruh karena sesungguhnya mereka juga adalah bagian yang terintegrasi dalam pembohongan publik dengan memberikan laporan dan opini yang menyesatkan.

Ditulis Oleh : Midian Halomoan Saragi, SH (LETho Institute)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *